Makassar, Mbs77Sulbar.com | Biro penelitian dan pengembangan hukum (PPH) perhimpunan mahasiswa hukum dewan pengurus cabang Makassar (PERMAHI DPC MAKASSAR) memberi statement penolakan secara tegas atas isu penjegalan putusan MK NO.60/PUU-XXII/2024. Kamis (22/08/2024)
Alwi Jayadi Sebagai kepala biro PPH PERMAHI DPC Makassar mengatakan, Baru-baru saja kita mendapat informasi terkait putusan MK yang memberi asas keadilan pada masyarakat, putusan itu berlandaskan dengan UUD 1945, Khususna pada pasal 28D ayat (1) yang menjamin hak Setiap orang untuk memperoleh perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta pasal 22E yang menjamin kebebasan berpartisipasi dalam pemilihan umum dari beberapa dasar hukum ini kita bisa membuat conclusi bahwa syarat kursi dalam DPR untuk bisa mencalonkan Gubernur adalah bentuk diskriminatif.
“Putusan MK telah memberikan kesempatan yg luas bagi partai baru dan partai kecil agar tetap dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, tentunya hal ini memperkuat pluralitas dan kompetensi politik yang tentunya sangat kita butuhkan dalam demokrasi,” Jelas Alwi.
Namun kata dia, belakangan ini kita kembali di hebohkan dengan isu penjegalan oleh DPR atas putusan MK, namun kita perlu sadari bahwa secara yuridis putusan MK bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya DPR wajib menghormati dan menjalankan putusan ini, resistensi DPR atas putusan ini dapat di anggap sebagai pelanggaran prinsip negara hukum,
Alwi Jayadi sebagai kepala biro menjelaskan, Saya menilai rencana resistensi DPR adalah bentuk arogansi dalam bernegara, sudah jelas bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat, pembiaran atas arogansi DPR hanya akan merusak kultur Hukum di Indonesia, karena bisa menciptakan Preseden negatif bahwa lembaga negara bisa saja mengabaikan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan kepentingan politik nya.
“Telah jalas di maktubkan dalan Pasal (1) ayat (3) UUD 1945 bahwa negara indonesi adalah negara hukum, dan sudah seyogyanya pembuatan hukum itu merujuk pada kepentingan universal atu masyarakat secara menyeluruh, bukan kepentingan politik dan kelompok semata, namun itulah fakta hukum yang sering kita temui saat ini, hukum yang di buat atas kepentingan kelompok tertentu bisa menjadi alat pembunuh bagi kelompok yang lain (homo homini lupus), ,”lanjut Alwi jayadi.
Menurutnya, Ada adagium yang mengatakan Vox Populi Vox Dei bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, maka jika DPR tidak lagi berpihak pada rakyat yang telah memberinya mandat perwakilan maka besar kemungkinan suara rakyat secara umum akan kembali bergema untuk mencari keadilan dan kepastian hukum demi kembalinya Marwah demokrasi di indonesi,
“karna sejatinya hukum adalah alat untuk meberikan keadilan bukan sebaliknya sebagaimana adagium hukum yang berbunyi Equum et bonum est Lex legum yang artinya apa yang baik dan adil adalah hukum nya hukum. Tutup Alwi Jayadi.
Hmz